Wajah Sunarti, 35 tahun, merah malu-malu. Jemari perempuan yang akrab disapa Santi, tak bisa diam membenarkan letak kaos biru yang warnanya sudah mulai luntur. Ia tampak gugup berhadapan dengan mata kamera. “Ini direkam kan? Jantung saya deg-degan ser-seran nih. Gimana dong?”
Santi, pekerja rumah tangga (PRT) sedang menjalani proses rekaman video. Rekaman ini dilakukan di ruangan sekretariat lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati pekerja rumah tangga, Jaringan Nasional Advokasi (Jala-PRT) di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu 31 Juli 2015. Video tersebut akan diunggah ke pelbagai media sosial jelang peringatan hari Kemerdekaan RI ke-70.
Sesaat setelah kamera dalam posisi merekam, ibu empat anak ini mulai mengatur napas. Ia pun mulai mantap bertutur.
“Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, tapi kami, pekerja rumah tangga belum benar-benar merdeka. Profesi kami tak pernah diakui oleh negara,” kata Santi.
Berdasarkan catatan Jala-PRT, upah rata-rata PRT di Jakarta saat ini hanya Rp 1,3 juta per bulan atau hampir separuh upah minimum. Sedangkan jam kerja PRT sangat lentur melebihi 8 jam sehari, tanpa kompensasi apa pun. Di sisi lain, kebanyakan PRT tak mendapatkan hak cuti dan libur di akhir pekan, tunjangan hari raya, serta jaminan sosial.
Selama ini kondisi profesi PRT belum setara dengan pekerja di sektor lainnya. PRT tak punya perlindungan hukum. Itu sebabnya, PRT rentan mengalami kekerasan fisik, kekerasan verbal, intimidasi, pelecehan seksual, sampai eksploitasi jam kerja.
Acuan perlindungan PRT datang dari Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 189 yang disahkan 2011 di Jenewa, Swiss. Konvensi ILO 189 menjadi acuan hukum bagi seluruh negara dunia yang meratifikasi untuk menjamin PRT mendapatkan kondisi kerja setara dengan yang diperoleh pekerja di sektor lain.
Di Indonesia, Rancangan Undang Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) sempat menjadi prioritas untuk disahkan pada 2015. Akan tetapi, RUU Perlindungan PRT kemudian dicoret dari daftar Program Legislasi Nasional 2015.
Setali tiga uang, RUU PRT tetap diperjuangkan untuk segera disahkan tahun ini, akan tetapi para PRT tak mau tinggal diam untuk ‘membuat payung sendiri’. Sebab tanpa perlindungan hukum, pekerja rumah tangga dapat diperlakukan sesuka hati oleh para pemberi kerja: dipecat secara sepihak, gaji tak dibayar sesuai kesepakatan awal, atau pun dipekerjakan tanpa libur dan cuti.
Cara yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah membentuk serikat pekerja. PRT yang menghimpun diri dalam organisasi dapat memperjuangkan hak-haknya secara bersama ketika dihadapkan kesewenang-wenangan pemberi kerja.
Serikat Pekerja Sapulidi
Santi pernah mendapatkan perlakuan semena-mena dari bosnya. Saat itu awal Januari 2015, ia bekerja di kawasan Kemang Village, Jakarta Selatan. Ia diminta untuk membersihkan kerak toilet menggunakan tangan. Tanpa sikat. Tapi Santi melawan.
“Nggak ada itu namanya bersihin WC pakai tangan, mestinya kan pakai sikat. Saya bilang saja, memang PRT, Tuan, tapi saya juga punya harga diri,” katanya. Setelah itu, ia memutuskan untuk mengundurkan diri.
Santi meyakini kalau peristiwa ini menimpa PRT lain, belum tentu mereka bisa mengambil sikap serupa. Sebab, tak jarang PRT yang menerima begitu saja pekerjaan yang diperintah dari pemberi kerja. “Melalui organisasi, saya belajar untuk bersikap seperti menolak pekerjaan tanpa fasilitas dan peralatan yang memadai,” lanjutnya.
Santi yang sudah bekerja sebagai PRT sejak 2009 adalah ketua organisasi atau serikat PRT Sapulidi. Sapulidi berdiri sejak 16 Juni 2013 sebagai cikal bakal serikat pekerja yang menaungi PRT di Jakarta dan sekitarnya.
Awal mula Sapulidi terbentuk dimulai dari adanya bantuan dan solidaritas terhadap PRT bernama Fitria. Pada pertengahan April 2013 silam, Fitria yang bekerja di kawasan elit di Fatmawati, Jakarta Selatan berkonflik dengan pemberi kerjanya.
Saat itu, ia diperintahkan bekerja mulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore. Tak terima diperlakukan seperti itu, ia memilih berhenti bekerja. Akan tetapi upah selama dua pekan tak dibayar. Akhirnya ia menulis keluhannya melalui blog pribadi. Dari situ, ia mendapat tanggapan dari masyarakat luas dan menemui Jala-PRT.
Setelah menemui dan berkonsultasi dengan JALA PRT, Fitria mendapat arahan untuk membawa kasusnya ke ranah hukum. Dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Fitria melayangkan surat somasi kepada bosnya.
Akan tetapi, kurang dari dua pekan sejak surat somasi dilayangkan, sang majikan ‘gemetar’ dan memilih berdamai. Ia melunasi tunggakan upah yang belum ia bayar selama dua pekan kepada Fitria.
Kisah sukses PRT memperjuangkan keadilan menjadi buah bibir di kalangan PRT. Setelah kasusnya selesai, Fitria kemudian mengumpulkan teman-teman seprofesinya dengan difasilitasi Jala-PRT.
Pertengahan Juni 2013, Santi dan sejumlah teman-temannya berkumpul di rumah kontrakan Fitria. Di ruang yang tak lebih dari 2×2 meter, mereka saling curhat tentang pengalaman buruk masing-masing menjadi PRT.
“Saya cerita waktu pertama kali bekerja itu pernah nggak dibayar upah selama sebulan. Padahal upah Rp 650 ribu sebulan waktu itu sangat berarti buat saya dan keluarga,” kata Santi saat mengingat pertemuan di kontrakan Fitria.
Di kesempatan yang sama, Wina teman seprofesi Santi yang ikut serta dalam kegiatan kumpul bareng tersebut juga punya pengalaman buruk menjadi PRT. “Saya juga berbagi pengalaman. Saya pernah dituduh mencuri air minum galon oleh majikan saya. Pernah juga dikunci dari luar apartemen tempat saya bekerja. Dari pagi sampai malam saya kelaparan di dalam apartemen,” katanya.
Keluhan-keluhan itu kemudian dicatat di atas kertas karton oleh Koordinator Jala-PRT, Lita Anggraini. Menurut Lita, kesewenang-wenangan yang diterima para PRT ini hanya fenomena puncak gunung es.
Kasus kekerasan terhadap PRT baru mencuat ketika korban mengalami kekerasan seksual atau fisik yang mengakibatkan korban menderita cacat permanen atau meninggal dunia. Untuk itu, lanjut Lita, perjuangan PRT untuk mendapatkan keadilan di lingkungan kerja salah satunya dimulai dari pembentukan perkumpulan atau organisasi. “Setelah pertemuan di rumah Fitria, kita lanjut ke pertemuan lebih besar lagi di Ragunan, Jakarta Selatan,” kata Lita.
Di penghujung Juni 2013, sebanyak 35 PRT berkumpul di Ragunan. Acara bertajuk “Piknik di Ragunan” ini membuahkan kesepakatan para PRT untuk membentuk organisasi PRT. Saat itu juga visi, misi, serta struktur organisasi dibentuk.
“Dari beberapa pilihan nama organisasi, akhirnya para PRT sepakat menggunakan nama Sapulidi. Sapulidi punya makna bersatu kita kuat. Sapulidi juga merupakan simbol dari alat kerja PRT,” lanjut Lita.
Selain itu, mereka pun mufakat tanggal lahir resmi Sapulidi adalah 16 Juni 2015. Tanggal ini dipilih mengingat 16 Juni diperingati sebagai hari Pekerja Rumah Tangga Internasional.
“Konvensi ILO 189 itu kan ditetapkan 16 Juni 2011. Dan tiap 16 Juni mulai tahun itu diperingati hari Pekerja Rumah Tangga Internasional,” imbuh Lita.
Makin Massif
Anggota Sapulidi terus bertambah seiring perjuangan penanganan konflik antara PRT dan pemberi kerja. Jumlah anggota Sapulidi sekarang ini sudah lebih dari 100 PRT. Mereka sudah rutin bayar iuran anggota, sebesar Rp 10 ribu sebulan per orang.
Kasus terakhir yang ditangani Sapulidi adalah laporan seorang PRT yang bekerja di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. PRT yang melapor mendapat catatan hitam dari si pemberi kerja lantaran dituduh mencuri. Selain itu ia juga tidak mendapatkan upah.
Sapulidi kemudian mendampingi kasus tersebut. Setelah proses penanganan kasus, PRT yang melapor tak terbukti mencuri. Si pemberi kerja pun harus membayar tunggakan upah dan membersihkan namanya agar ia mudah mendapat kerja di tempat lain tanpa catatan hitam.
Santi mengaku, Sapulidi sudah menangani beragam kasus terkait dengan konflik PRT dan pemberi kerja. Sayangnya Santi mengaku serikatnya belum mencatat kasus-kasus dengan baik. “Kami akui, sampai saat ini tak mendata kasus-kasus tersebut. Tapi ke depan, secara administrasi akan kami catat,” katanya.
Bukan hanya advokasi konflik yang menjadi daya tarik Sapulidi. Untuk menggaet lebih banyak PRT untuk berorganisasi, Sapulidi juga gencar memberikan informasi lowongan kerja PRT dan pelatihan Bahasa Inggris.
Sampai saat ini, tercatat sebanyak 80 anggota Sapulidi sudah punya sertifikat dari lembaga kursus Bahasa Inggris ternama. “Kami juga merancang pelatihan keselamatan kerja untuk PRT,” lanjut Santi.
Kini yang masih menjadi hambatan organisasinya, kata Santi, adalah jam kerja yang padat dan pencatatan administrasi penanganan kasus. Akan tetapi hal tersebut tak menjadi halangan rencana Sapulidi untuk didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta, 16 Februari 2016.
Pemilihan tanggal pendaftaran Sapulidi sebagai serikat pekerja pada 16 Februari mendatang sekaligus memperingati hari Pekerja Rumah Tangga Nasional. Seperti diketahui, Februari 2001 silam, seorang PRT bernama Sunarsih dianiaya sampai tewas oleh majikannya. Sunarsih yang saat itu berusia 14 tahun dituduh mencuri enam buah rambutan dan dianggap layak untuk dianiaya oleh majikannya.
“Dengan berdirinya Sapulidi ini akan menjadi momentum untuk mengingat hari-hari penting bagi PRT,” kata Santi.
Sambil berjuang mendapatkan payung hukum melalui RUU Perlindungan PRT, para PRT kini juga berjuang melalui serikat pekerja. Inilah bentuk kesadaran PRT yang sepatutnya diapresiasi masyarakat luas untuk diposisikan setara dengan pekerja di sektor lainnya.*
Poin Konvensi ILO 189
Usia Pekerja Rumah Tangga dianjurkan di atas 18 tahun
PRT yang bekerja pada usia di bawah 18 tahun tak menghalangi mereka untuk mendapatkan pendidikan lanjutan, atau pelatihan kerja.
PRT mendapat hak untuk mengetahui informasi identitas lengkap pemberi kerja
PRT mendapat hak untuk mengetahui lama bekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan, metode pengupahan, cuti tahunan, periode istirahat harian dan mingguan, penyediaan akomodasi makanan, periode masa percobaan, dan ketentuan pemulangan.
PRT mendapat jaminan hak untuk berorganisasi dan bernegosiasi dengan pemberi kerja.
PRT berhak menyimpan sendiri dokumen perjalanan dan dokumen identitas mereka